Advertisement
Oleh: Rozal Nawafil
Di tengah diskursus mengenai tambang dan izin eksplorasi di berbagai daerah Aceh, pesan indatu dalam Hadih Maja ini terasa sangat relevan.
Petuah lama itu berbunyi, “Kaya meuïh hana meusampé, kaya padé raeusampurna”. Artinya, “Kaya emas belum sempurna, kaya padi baru sempurna.”
Petuah yang direkam dalam catatan kolonial De Rijkdom van Atjeh (1923) ini menggambarkan orientasi nilai masyarakat Aceh terhadap keseimbangan antara kemewahan dan keberlanjutan hidup.
Secara antropologis, Hadih Maja ini berfungsi sebagai transmisi nilai ekologis dan perangkat moral dalam masyarakat Aceh.
Padi (padé) melambangkan kehidupan yang berulang, dapat ditanam kembali, dan memberi makan banyak orang. Sedangkan emas (meuïh) bersifat terbatas, sekali digali akan habis.
Falsafah “kaya padé raeusampurna” menegaskan bahwa kekayaan sejati adalah yang berkelanjutan, yang menumbuhkan kehidupan baru.
Para indatu Aceh sudah menolak paradigma materialistik jauh sebelum istilah “pembangunan berkelanjutan” dikenal. Dalam pandangan mereka, kekayaan bukan sekadar kepemilikan, tetapi kesinambungan hidup dan kesejahteraan bersama.
Sejarah mencatat, sejak abad ke-17 Kesultanan Aceh hidup dari hasil bumi seperti padi, lada, dan hasil hutan, bukan dari eksploitasi mineral.
Namun pada masa kolonial, arah itu berubah. Pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan model ekonomi ekstraktif dengan membuka perkebunan dan tambang (Schrieke, 1955).
Dalam konteks itu, Hadih Maja dapat dibaca sebagai kritik kultural terhadap ekonomi kolonial yang menguras alam tanpa menyejahterakan rakyat.
Kini, seabad kemudian, persoalan serupa muncul kembali: pertentangan antara kepentingan tambang dan kelestarian lahan pertanian.
Tambang sering disebut jalan menuju kemakmuran, padahal pengalaman banyak daerah menunjukkan sebaliknya. Setelah emas habis, yang tersisa hanyalah lubang dan debu.
Inilah yang dimaksud Hadih Maja: “kaya meuïh hana meusampé”.
Emas bisa mengelabui pandangan, tetapi padi meneguhkan kehidupan.
Tambang mungkin mempercepat pembangunan, tetapi juga mempercepat kerusakan jika tidak dikendalikan dengan hati dan nurani.
Beberapa tahun terakhir, isu pertambangan rakyat versus perusahaan besar (PT) menjadi polemik di sejumlah kabupaten di Aceh.
Sebagian masyarakat menggantungkan hidup pada penambangan emas tradisional, sementara pemerintah berupaya menertibkan aktivitas ilegal dan mengundang investasi formal.
Namun pertanyaan mendasar tetap sama: apakah arah pembangunan Aceh masih sejalan dengan nilai-nilai dasarnya sendiri?
Jika merujuk pada Hadih Maja, arah pembangunan ideal seharusnya bertumpu pada pangan, kelestarian, dan kesejahteraan bersama, bukan akumulasi kapital jangka pendek.
Dalam kerangka kebijakan publik, hal ini berarti memperkuat sektor pertanian, memperluas Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang ramah lingkungan, serta memastikan distribusi manfaat ekonomi secara adil bagi masyarakat lokal.
Aceh memiliki kearifan yang jauh lebih maju dari zamannya. Petuah “kaya padé raeusampurna” adalah ekspresi filsafat hidup masyarakat yang hidup selaras dengan alam.
Dalam konteks hari ini, ketika tanah subur terancam oleh ekspansi tambang dan alih fungsi lahan, Hadih Maja menjadi pengingat moral bahwa kemakmuran tanpa keberlanjutan hanyalah kemewahan yang rapuh.
Masyarakat Aneuk Jamee di pesisir barat selatan Aceh memiliki ungkapan serupa. Dalam Syair Langgolek, yang kini telah disahkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia 2025, terdapat pepatah:
“Hilang ameh dapek ditimbang, hilang sibujang koma dicari.” Artinya, “Hilang emas dapat ditimbang, hilang anak bujang ke mana dicari.”
Ungkapan ini bukan hanya tentang kehilangan orang muda, tetapi tentang hilangnya generasi, tenaga kehidupan, dan masa depan manusia.
Ketika tambang mencemari air, merusak sawah, dan memecah masyarakat karena izin dan kepentingan, maka yang hilang bukan sekadar emas, melainkan anak manusia itu sendiri.
Hal ini memang agak berbeda dengan pepatah Minang, “Dek ameh sagalo kameh, dek padi sagalo jadi.”(Karena emas semua siap, karena padi semua jadi.)
Hadih Maja dan Syair Langgolek mengajarkan hal yang sama bahwa tanah dan manusia harus dijaga lebih dari emas. Padi adalah lambang kehidupan, dan manusia adalah penjaganya. Jika keduanya rusak, maka tidak ada kekayaan yang tersisa.
Kesadaran ekologis ini bahkan terpatri dalam toponimi wilayah di Aceh. Banyak daerah memakai kata Blang dan Breueh seperti Blangpidie, Blangkejeren, Blang Bintang, hingga Pulo Breueh.
“Blang” berarti hamparan sawah, “Breueh” berarti beras. Nama-nama ini adalah jejak cara berpikir masyarakat yang memuliakan tanah pertanian sebagai sumber kehidupan.
Warisan lain yang sarat makna adalah tradisi peusijuek atau tepung tawar. Dalam setiap peusijuek, dua unsur utama selalu hadir: beras dan daun hijau.
Beras melambangkan kehidupan, hasil bumi yang halal, dan kesejahteraan yang datang dari tanah yang dijaga. Daun hijau melambangkan keseimbangan dan kesucian alam.
Ketika beras dan daun dipadukan, maknanya jelas: manusia hanya hidup tenteram bila menjaga harmoni antara bumi dan diri.
Maka ironis bila di satu sisi kita menepung-tawari tanah dengan doa keselamatan, sementara di sisi lain kita melubangi bumi demi emas.
Dalam bahasa simbolik peusijuek, kita sedang menabur beras di atas tanah yang sudah kehilangan daunnya.
Karena itu, kini saatnya kita menimbang ulang arah pembangunan Aceh agar berpihak pada tanah, air, dan manusia.
Pepatah Aceh dan Aneuk Jamee mengajarkan bahwa kekayaan sejati adalah yang tidak mengorbankan manusia dan alam.
Bila tambang hanya meninggalkan air raksa dan luka, itu bukan kekayaan, melainkan utang ekologis bagi generasi mendatang.
Masyarakat Aceh-Sumatra telah memiliki konsep “ekonomi moral” jauh sebelum teori itu dikenal di dunia Barat.
Dalam tulisannya The Moral Economy of the English Crowd (1971), sejarawan E.P. Thompson menjelaskan bahwa setiap sistem ekonomi harus berpijak pada nilai sosial masyarakat, bukan semata logika pasar.
Potensi mineral Aceh memang besar. Namun kekayaan alam yang tidak dikelola dengan nilai moral dan sosial akan berubah menjadi kutukan.
Syair Aceh lama menutup pelajaran ini ungkapan:
“Jud makjud dikurok-kurok gunong, ji keumeu tamong u dalam donya; uroe dikurok malam diseubee, malaikat thee geuyue doe teuma.”
Syair ini adalah alegori tentang nafsu manusia yang tak pernah puas menggali bumi demi dunia.
Ketika iman melemah dan nafsu dibiarkan bebas, “tembok besi” itu runtuh, dan Ya’juj-Ma’juj zaman modern pun keluar: kerakusan, eksploitasi, dan keserakahan.
Hilang emas bisa ditimbang, tetapi hilang anak manusia ke mana dicari?
Tambang boleh hadir, tetapi jangan sampai menghancurkan generasi penerus.
Emas mungkin memberi cahaya sementara, tetapi kelestarian alam dan manusia adalah cahaya kehidupan yang sejati.
Penulis merupakan Alumni IPDN, Mahasiswa Pascasarjana UISU, Wakil Ketua DPP Action, dan Analis Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah pada Sekretariat Daerah Kabupaten Aceh Barat Daya.