Advertisement
Oleh Rozal Nawafil
Tragedi di Ponpes Al Khoziny, Sidoarjo, beberapa waktu lalu menyisakan duka mendalam bagi masyarakat Indonesia. Puluhan santri meninggal dunia dalam peristiwa ambruknya bangunan asrama pesantren tersebut. Dalam suasana haru, sang pengasuh, KH R Abdus Salam Mujib, hanya berucap lirih, “Ini takdir Allah.”
Ucapan itu memantik beragam reaksi. Ada yang menilainya sebagai bentuk keteguhan iman, ada pula yang memandangnya sebagai upaya melepaskan tanggung jawab manusia atas musibah itu. Perbedaan persepsi inilah yang sesungguhnya memperlihatkan betapa konsep takdir masih sering disalahpahami, bahkan oleh kalangan terdidik sekalipun.
Padahal, memahami takdir tidak sesederhana hitam dan putih. Jika direnungkan, ucapan “ini takdir Allah” bukanlah dalih untuk menghindari tanggung jawab, melainkan ekspresi kepasrahan seorang hamba setelah melakukan yang terbaik dalam keterbatasan manusiawi. Keyakinan kepada takdir justru menguatkan kesadaran bahwa setiap perbuatan kita berada dalam pengawasan Allah.
Masyarakat Aceh memiliki hadih maja: “Malang hanjeuet tapeusi, raseuki hanjeuet tatulak” malang (nasib buruk) tak dapat dihindari dan rezeki tak boleh ditolak. Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang Aceh sejak dulu memahami hubungan erat antara nasib, usaha, dan keyakinan kepada Tuhan. Maknanya bukan ajakan untuk berdiam diri, melainkan dorongan agar manusia berbuat sebaik-baiknya sambil menyadari bahwa tidak semua hasil bisa dikendalikan.
Menolak takdir dengan dalih ingin menegakkan tanggung jawab berisiko menafikan kekuasaan Allah. Sebaliknya, berlindung di balik takdir untuk menghindari usaha sama saja menyalahgunakan nama Tuhan. Takdir bukan alasan untuk berdiam diri, melainkan dorongan untuk berbuat sebaik mungkin dalam ruang kehendak yang telah Allah berikan, sebab Allah tidak menyukai orang yang berpangku tangan.
Takdir berlaku seiring dengan ikhtiar manusia. Sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d:11). Dengan memahami takdir, manusia justru terdorong untuk berbuat yang terbaik, sebab ia tahu bahwa usaha adalah bagian dari ketentuan Allah.
Di sinilah pentingnya keseimbangan antara iman dan ikhtiar; antara keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi dengan izin Allah, dan kesadaran bahwa manusia tetap dimintai pertanggungjawaban atas usahanya. Dalam konteks ini, Prof M Quraish Shihab menjelaskan bahwa takdir memiliki dua sisi: ada yang bersifat tetap dan ada yang bergantung pada usaha manusia. Dalam Tafsir Al-Mishbah dan Wawasan Al-Qur’an, beliau menegaskan bahwa beriman kepada takdir bukan berarti pasrah tanpa upaya, tetapi kesadaran akan keterbatasan diri di hadapan kehendak Allah tanpa meniadakan kewajiban berikhtiar.
Pemahaman semacam ini menempatkan manusia pada posisi yang seimbang. Kita berusaha sebaik-baiknya, tetapi tetap sadar bahwa hasil akhirnya bukan milik kita sepenuhnya. Dalam bahasa Al-Qur’an, “Manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya” (QS. An-Najm:39), namun hasil akhir tetap bergantung pada kehendak Allah.
Ketika bencana atau tragedi terjadi, kalimat seperti “ini takdir Allah” menjadi cara untuk meredam kesedihan dan meneguhkan hati, bukan alasan untuk berhenti belajar dari kesalahan. Sayangnya, di tengah arus media sosial yang bising, pandangan semacam ini sering tereduksi. Banyak orang terburu-buru menghakimi ucapan “takdir Allah” sebagai bentuk pelarian dari tanggung jawab. Padahal bisa jadi, di balik ucapan singkat itu, tersimpan pengakuan yang sangat dalam tentang keterbatasan manusia dan kebesaran Tuhan.
Dalam beberapa hari setelah tragedi Al Khoziny, ruang digital dipenuhi komentar sinis. Kritik tentu penting, tetapi yang perlu diingat: tragedi semacam ini juga menuntut empati. Di media sosial, banyak orang lebih cepat menilai daripada memahami. Seakan-akan setiap musibah harus segera dicari siapa yang salah, bukan apa pelajarannya. Padahal antara tanggung jawab dan takdir tidak perlu dipertentangkan.
Dalam tragedi Al Khoziny, ucapan “ini takdir Allah” seharusnya dipahami dalam kerangka ini: bukan pasrah buta, tetapi bentuk penyerahan diri yang berakar dari iman mendalam; kesadaran bahwa hidup manusia, seberapapun ia berusaha, tetap berada dalam genggaman Tuhan.
Kaitannya dengan hal ini, ungkapan “InsyaAllah” juga sering disalahpahami. Sebagian orang menganggapnya tanda ketidakpastian atau alasan untuk tidak berkomitmen, padahal maknanya ialah pengakuan bahwa segala rencana manusia bergantung pada izin Allah. Ketika seseorang berkata, “Besok saya datang, InsyaAllah,” itu bukan bentuk ragu, melainkan kesadaran bahwa hanya Tuhan yang menentukan apa yang benar-benar akan terjadi.
Dalam Al-Qur’an disebutkan: “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Aku pasti melakukan itu besok,’ kecuali dengan mengatakan, ‘InsyaAllah.’” (QS. Al-Kahfi:23–24). Ayat ini mengajarkan adab dalam berjanji: manusia boleh merencanakan masa depan, tetapi tidak boleh mengabaikan kehendak Allah yang menjadi penentu segalanya.
Ungkapan InsyaAllah merupakan puncak ketundukan manusia terhadap ketetapan Allah setelah ia berusaha maksimal. Mengucapkannya bukan berarti “tidak pasti mau melakukan”, tetapi “saya bertekad melakukan, namun saya sadar hasilnya tergantung pada izin Allah.” Dalam Islam, ucapan InsyaAllah tidak membatalkan komitmen, dan iman kepada takdir tidak membatalkan tanggung jawab.
Sebagaimana ditegaskan Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin, tawakal sejati adalah menggabungkan ikhtiar dan penyerahan diri; bekerja keras seolah-olah segalanya tergantung pada usaha, lalu berserah diri seolah-olah segalanya dari Allah. Dalam konteks sosial, pemahaman yang benar tentang takdir dan InsyaAllah dapat membentuk karakter masyarakat yang sabar, rendah hati, dan saling memahami.
Musibah, dalam pandangan agama, adalah panggilan untuk memperbaiki diri, bukan sekadar menghukum orang lain. Ia bisa menjadi cara Tuhan mengingatkan manusia bahwa di atas semua perhitungan dan teknologi, ada kekuasaan yang jauh lebih besar. Tentunya manusia tetap harus bertanggung jawab atas kelalaian, tetapi setelah segala daya upaya dilakukan, sisanya adalah ruang bagi kehendak Ilahi.
Setiap bencana semestinya menjadi ruang refleksi bersama. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat perlu berani melihat sisi tanggung jawab manusiawi: adakah aspek keamanan yang lalai? Apakah pengawasan bangunan pesantren dari semua pihakk sudah memadai? Semua ini perlu ditata agar musibah serupa tidak terulang.
Dalam dunia yang serba cepat seperti sekarang, kita perlu belajar kembali untuk menahan diri: tidak tergesa menilai, tidak mudah menuduh, dan tidak sinis terhadap keyakinan orang lain. Kita juga perlu menjaga hati dari kesombongan intelektual; merasa paling tahu, paling benar, dan paling cepat menghakimi. Sebab ketika musibah menimpa orang lain, bisa jadi itu ujian bagi kita juga: apakah kita masih mampu berempati, atau justru sibuk menyalahkan.
Ucapan “Ini takdir Allah” seharusnya tidak diukur dengan logika dingin, tapi dengan hati yang beriman. Ia bukan pelarian dari kenyataan, melainkan pelukan terhadap kehendak Tuhan. Dari sana kita belajar: takdir bukan untuk ditakuti, tetapi untuk disadari; agar manusia tetap berusaha dengan rendah hati di bawah langit kehendak-Nya.
Penulis adalah Wakil Sekretaris PD Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) Provinsi Aceh, Wakil Ketua DPP Aceh Culture and Education (Action), dan Analis Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah pada Setdakab Aceh Barat Daya.