Advertisement
Blangpidie, Nasional.Top | Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan tahun 2025, Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya menggelar upacara di Halaman Kantor Bupati, Senin (10/11). Pada kesempatan tersebut, pemerintah daerah menganugerahkan penghargaan kepada empat tokoh pejuang daerah yang telah berjasa besar dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda di Aceh.
Penghargaan diserahkan secara simbolis oleh Plt. Sekda Aceh Barat Daya, Amrizal, S.Sos, kepada keluarga dan ahli waris dari empat pahlawan daerah, yakni Teuku Ben Mahmud, Teungku Peukan, Teuku Karim, dan Teuku Nyak Arifin.
Adapun penerima penghargaan mewakili masing-masing pahlawan adalah: Teuku Ilham Apriliansyah bin Teuku Nyak Paet, generasi kelima dari almarhum Teuku Ben Mahmud; Muhammad Adam, keluarga dari almarhum Teungku Peukan; Teuku Syahrol bin Teuku Idris, cucu dari almarhum Teuku Karim; serta Aris Faisal Djamin, cucu dari almarhum Cut Rawan yang merupakan ahli waris almarhum Teuku Nyak Arifin.
Penganugerahan ini menjadi bentuk pengakuan dan penghormatan atas dedikasi serta pengorbanan para tokoh tersebut dalam memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankan kehormatan Aceh di masa penjajahan.
Melalui momentum Hari Pahlawan ini, Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya berharap semangat perjuangan, keikhlasan, dan nasionalisme para pahlawan daerah dapat terus menginspirasi generasi muda untuk berkontribusi nyata bagi kemajuan bangsa dan daerah.
Sekilas Empat Sosok Pahlawan Aceh Barat Daya
1. Teuku Ben Mahmud
Lahir di Blangpidie tahun 1860 dari keluarga bangsawan Pidie. Diangkat Sultan Muhammad Daud Syah sebagai uleebalang Blangpidie pada 1882 dengan gelar Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja. Ia menolak Korte Verklaring dan memimpin perang gerilya melawan Belanda selama lebih dari satu dasawarsa di wilayah pantai barat selatan Aceh. Ia menjalin aliansi dengan pejuang dari Gayo dan membantu perjuangan Sisingamangaraja XII di tanah Batak. Pada 1908 ia turun gunung dan kemudian diasingkan ke Maluku Utara karena keberadaannya yang membahayakan pihak kolonial. Teuku Ben Mahmud wafat di Wasile Selatan, Halmahera Timur, pada 28 Maret 1974, dan dimakamkan di Bukit Rahmat. Dikenang rakyat Maluku Utara sebagai “Tete Aceh”.
2. Teungku Peukan
Lahir di Alue Paku, Sawang (1886), putra Teungku Adam (Teungku Padang Ganting) dan Siti Zulaikha. Seorang ulama dan pejuang yang meneruskan semangat perlawanan Teuku Ben Mahmud. Aktif dalam Sarekat Islam dan gerakan anti-penjajahan. Ketika Belanda membatasi dakwah dan memaksanya membayar pajak tanah, ia memimpin perlawanan bersenjata. Pada malam Jumat, 10 September 1926, bersama 227 mujahid menyerang bivak Belanda di Blangpidie. Serangan berhasil, namun ia gugur syahid bersama putranya, Muhammad Kasim. Jenazah keduanya dimakamkan di halaman Masjid Jamik Blangpidie oleh Qadhi Yunus (Teungku di Lhong) atas instrukti pemangku Uleebalang Blangpidie, Teuku Rayeuk bin Teuku Ben Mahmud. Perlawanan Teungku Peukan menjadi simbol jihad rakyat Aceh Barat Daya melawan penjajahan.
3. Teuku Karim
Lahir tahun 1895. Putra dari Teuku Ben Mahmud Blangpidie dan Cut Linggam Terbangan. Sejak remaja ia sudah terbiasa turun naik hutan mengikuti pasukan perang ayahnya. Setelah ayahnya turun gunung, Teuku Karim melanjutkan perjuangan dan bergabung dalam pasukan gerilya Teuku Cut Ali dan Teuku Maulud di Aceh Selatan. Dalam operasi yang dipimpin Kapten G.F.V. Gosenson pada 25 Mei 1927, istrinya yang bernama Nyak Meutia binti Teuku Nago syahid bersama ayahnya, Teuku Nago—perencana penyerangan Bivak Terbangan tanggal 11 Agustus 1926, serta Teuku Cut Ali dan istrinya Fatimah yang sedang mengandung, di hutan Alu Burang-Lawe Sawah, Kluet Timur. Setelah tragedi tersebut perjuangan Teuku Karim semakin intensif hingga akhirnya pada 21 Januari 1930, Teuku Karim ditangkap Belanda dan diasingkan ke Pulau Jawa selama 10 tahun. Setelah kemerdekaan, ia kembali ke Aceh dan wafat di Blangpidie pada tahun 1971.
4. Teuku Nyak Arifin
Pejuang asal Susoh yang turut menyerang bivak Belanda di Blangpidie pada 15 Maret 1942, menjelang kedatangan Jepang. Setelah pertempuran sengit, pada 17 Maret 1942 ia bersama pasukannya mundur ke Palak Kerambil dan kemudian berlayar menuju Kutaraja dengan perahu pukat. Namun pada 19 Maret 1942, rombongan mereka gugur di pantai Suak Timah, Samatiga, Aceh Barat, setelah diterjang peluru pasukan Belanda yang menyamar sebagai tentara Jepang. Ia gugur bersama rekan-rekannya dan dikenang sebagai simbol pengorbanan rakyat pesisir Aceh Barat Daya.

.png)