Advertisement
Instruktur HMI Cabang Banda Aceh, Imam Ziyadi Liswan, menilai fenomena ini sebagai sinyal bahaya yang tidak boleh dianggap sepele. Menurutnya, jika tidak segera dilakukan pembenahan, HMI berisiko kehilangan jati diri dan peran strategisnya sebagai lokomotif perubahan serta pergerakan di kalangan mahasiswa dan masyarakat.
“HMI lahir untuk melahirkan intelektual organik yang berjuang demi umat dan bangsa. Tapi sekarang, banyak kader yang kehilangan daya kritis dan militansi. Kita sibuk mengurus konflik internal, tetapi lupa terhadap integritas organisasi dalam mengurus gagasan,” tegas Imam Ziyadi, Selasa (26/8).
Ia menjelaskan bahwa tanda-tanda pelemahan ini terlihat jelas dari berbagai kegiatan HMI yang kini lebih banyak terjebak pada agenda seremonial. Diskusi-diskusi strategis yang dulu menjadi napas organisasi kini jarang diselenggarakan. Akibatnya, isu-isu penting seperti ketimpangan ekonomi, krisis moral, dan problem sosial lainnya yang seharusnya menjadi fokus kajian mahasiswa justru terabaikan.
Lebih jauh, Imam Ziyadi menyoroti lemahnya sistem perkaderan yang berjalan saat ini. Menurutnya, pelatihan kader sering kali hanya dilaksanakan sebagai formalitas tanpa ada penguatan ideologi dan intelektualitas yang memadai.
“Perkaderan bukan hanya soal teknis melaksanakan latihan, tetapi bagaimana melahirkan kader yang siap menjadi lokomotif perubahan sosial, politik, dan keummatan. Kalau kita abai, maka HMI hanya akan menjadi organisasi besar tanpa arah dan pengaruh,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa evaluasi menyeluruh terhadap arah gerakan dan mekanisme perkaderan harus segera dilakukan. Tanpa langkah konkret, HMI akan semakin jauh dari khittah perjuangan yang diwariskan pendirinya, Lafran Pane.
Imam Ziyadi juga mendorong agar HMI di Aceh menghidupkan kembali tradisi intelektual yang pernah menjadi kebanggaan organisasi ini. Menurutnya, forum-forum diskusi, kajian ideologis, hingga aksi nyata mengadvokasi kepentingan umat dan bangsa harus kembali digalakkan agar kader HMI tidak hanya aktif secara administratif, tetapi juga mampu melahirkan gagasan dan gerakan yang berdampak nyata.
“Kita harus menghidupkan kembali tradisi intelektual di HMI. Dari forum diskusi, kajian ideologis, sampai turun ke lapangan mengadvokasi isu-isu keummatan dan kebangsaan. Itulah jati diri HMI yang tidak boleh hilang,” pungkasnya.
Di tengah dinamika sosial dan politik yang kian kompleks, Imam Ziyadi berharap agar HMI Aceh segera bangkit dan mengambil peran strategisnya. Ia mengingatkan kembali pesan Lafran Pane bahwa HMI hadir bukan hanya untuk mahasiswa, tetapi juga untuk agama, bangsa, dan negara.
Momentum ini, lanjutnya, seharusnya menjadi titik balik untuk melakukan reformasi internal secara menyeluruh. Dengan begitu, HMI yang ada di Aceh dapat kembali menjadi motor penggerak perubahan yang melahirkan kader intelektual kritis, visioner, dan berintegritas demi kemajuan umat dan bangsa.