Advertisement
![]() |
Penulis : Rozal Nawafil, S.Tr.IP ASN Pemkab Aceh Barat Daya; Wakil Ketua DPP Aceh Culture and Education |
Nama Kuala Batu, atau dikenal juga sebagai Quallah Battoo dalam catatan asing abad ke-19, pernah bergema jauh melampaui wilayah lain di Nusantara. Pada masanya, kawasan ini bukan sekadar perkampungan nelayan atau pelabuhan kecil, melainkan sebuah simpul dagang penting di Jalur Rempah, yang menghubungkan penghasil lada lokal dengan kapal-kapal dagang dari Eropa, Amerika, Arab, hingga Tiongkok. Namun, kejayaan niaga Kuala Batu tak terpisahkan dari jejak panjang konflik, kolonialisme, dan kekerasan maritim yang turut membentuk sejarah kawasan ini.Temuan terbaru menunjukan keberadaan benteng pertahanan (madat), keramik, batu bata, dan kuburan di delapan situs di sepanjang pantai daerah yang kini menjadi Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya menandai perannya sebagai pusat maritim sekaligus pertahanan kerajaan Aceh.
Sejak sekitar tahun 1789, kapal dari pelabuhan AS seperti Salem, Boston, New York, Philadelphia, Baltimore, hingga New Bedford aktif berdagang rempah-lada di pelabuhan Kuala Batu, Susoh, Tapaktuan, Meukek, Meulaboh, Pulo Weh dan tempat lainnya. Permintaan lada internasional mendorong tensi perdagangan global Aceh. Namun setelah 1829, harga lada jatuh drastis, sehingga sebagian pelayaran juga menurun kecuali beberapa kapal seperti Friendship milik Salem.
Kapal Friendship adalah kapal dagang Amerika Serikat yang berbendera Salem, Massachusetts, dan dinakhodai oleh Kapten Charles Endicott. Kapal ini mengangkut barang-barang seperti kain, senjata, dan peralatan tukar-menukar dari AS, dengan tujuan utama membeli lada hitam di pantai barat Sumatra, khususnya di pelabuhan Kuala Batu, yang saat itu dikenal luas sebagai pusat perdagangan lada.
Pada 7 Februari 1831, kapal Friendship tiba di lepas pantai Kuala Batu untuk membeli lada, komoditas yang kala itu lebih berharga dari emas. Kapten Endicott dan beberapa awak kapal pergi ke daratan untuk melakukan negosiasi perdagangan dengan penduduk lokal dan kepala kampung. Namun, suasana di daratan sedang tidak menentu. Beberapa tokoh lokal memperingatkan bahwa para awak kapal Friendship terlalu bebas dan sembrono—tidak menghormati aturan dagang adat, bahkan ada kabar mereka menipu dalam timbangan dan menolak membayar bea pelabuhan kepada pemimpin setempat.
Saat sebagian besar kru sedang di darat dan keamanan kapal melemah, sekelompok lokal yang disebut "perompak" oleh Amerika naik ke kapal Friendship dan melakukan perompakan mendadak. Mereka membunuh tiga awak kapal, menjarah barang-barang di dek dan ruang muatan, merampas sebagian besar muatan dagang, menurunkan layar dan menguasai kapal untuk waktu singkat. Kerugian diperkirakan mencapai USD 50.000.
Menurut narasi lokal, insiden ini merupakan rekayasa Belanda: mereka mempersenjatai dan menugaskan kelompok perompak pimpinan Lahuda Langkap untuk menggunakan bendera Aceh dan menyerang Friendship, dengan tujuan merusak reputasi Aceh serta melemahkan hubungan dagang melawan dominasi Amerika. Peristiwa ini tidak sepenuhnya perompakan dalam arti klasik, melainkan bagian dari ketegangan dagang dan kecurigaan lokal terhadap kapal asing.
Kapten Endicott yang menyadari kapal diserang segera melarikan diri ke laut dengan perahu kecil, mencari bantuan dari kapal dagang Inggris dan lainnya yang berada di kawasan tersebut.
Dengan bantuan beberapa kapal Eropa dan Po Adam; tokoh lokal yang bersahabat, Friendship berhasil direbut kembali dalam waktu beberapa hari. Namun, sebagian besar barang sudah hilang dan beberapa awak tewas. Kapten Charles Endicott berhasil selamat dan kembali ke Amerika. Ia menjadi narasumber utama dalam laporan Kongres tentang insiden ini.
Media di Salem dan Boston segera melaporkan insiden ini sebagai serangan barbar terhadap warga sipil Amerika. Setelah laporan pembantaian Friendship pada Februari 1831 tiba ke Washington, Presiden Andrew Jackson dan Sekretaris Angkatan Laut Levi Woodbury menerima tekanan dari Kongres. Nama Friendship kemudian dikenang sebagai simbol kejadian yang menjadi dalih proyeksi kekuatan militer AS ke luar negeri untuk pertama kalinya.
Pada 9 Agustus 1831, Commodore John Downes, komandan USS Potomac diperintahkan untuk segera menuju Kuala Batu dan mengambil tindakan militer jika diplomasi gagal. Hal ini karena peristiwa ini dilihat bukan hanya sebagai perompakan, tapi penghinaan terhadap bendera AS dan ancaman terhadap kebebasan pelayaran dan perdagangan internasional.
USS Potomac adalah frigat seberat 1.726 ton, bersenjata 42 meriam 32‑pon dan 8 meriam 8‑in, dengan kru sekitar 480 orang—termasuk 282 marinir dan pelaut pendarat. Ini adalah detasemen marinir terbesar pada kapal AS saat itu .
Kapal USS Potomac berangkat dari New York pada Agustus 1831 dengan komposisi awak sekitar 500 orang (termasuk 44 marinir dan 40 perwira), disiapkan sebagai kapal perang modern dan termutakhir saat itu. Dalam perjalanan ke Afrika dan Brazil, kapal melintasi Khatulistiwa pada 5 Oktober dan singgah selama dua minggu di Rio de Janeiro sebelum melanjutkan arah ke Tanjung Harapan dan memasuki Samudra Hindia.
Saat mendekati pantai Sumatra sekitar tanggal 28 Januari, Potomac bersiap melakukan operasi di Kuala Batu. Kapal disamarkan sebagai kapal dagang Denmark—meriam diturunkan, lubang meriam ditutup, dan bendera Denmark dinaikkan—agar penduduk lokal tidak mencurigai identitas sebenarnya. Penduduk lokal yang mendekat dalam perahu dan ingin berdagang lada ditahan agar tidak membocorkan identitas asli kapal.
Pada 6 Februari 1932 sekitar pukul 02:30, 282 marinir dan pelaut yang dipimpin oleh Letnan Alvin Edson berangkai ke pantai dalam beberapa perahu. Setelah pengintaian awal dipaksa batal karena keberadaan penduduk bersenjata, operasi dilakukan dengan strategi dua divisi bergerak menyisir pantai menuju kawasan benteng lokal.
Pukul 02:30 pada 6 Februari, Letnan Pertama Irvine Shubrick memimpin skuat pengintaian menggunakan kapal kecil, tetapi gagal mendarat karena penduduk lokal bersenjata menunggu di pantai.
Pada malam hari, sekitar 282 marinir dan pelaut AS dibagi menjadi beberapa divisi dan dilengkapi meriam ringan. Mereka mendarat sekitar 1,5 mil ke utara kota untuk melakukan serangan mendadak pada fajar hari berikutnya.
Penduduk Kuala Batu menggunakan senjata kampung seperti rencong dan senapan matchlock lawas, yang tidak efektif menghadapi senjata modern AS. Pasukan AS menyerang empat benteng pantai dengan bantuan meriam kapal. Deskripsi resmi mencatat:
"…dengan senapan breech-loading milik Marine Corps Hall, yang jauh lebih unggul daripada senapan matchlock kuno milik orang Melayu… Pertempuran berubah menjadi pertarungan tangan kosong yang sengit… dengan 150 prajurit uleëbalang tewas. Namun, dua pelaut Angkatan Laut tewas, sementara sebelas pelaut dan Marinir terluka."
Dalam dua setengah jam pertempuran melelahkan, benteng di pesisir berhasil direbut dalam pertempuran tangan kosong. Setelah benteng pesisir jatuh, penduduk lari ke benteng belakang namun Alih-alih menyerbu, Edson memilih membumihanguskan desa utama Kuala Batu, mengambil harta sebagai pembalasan dan membunuh banyak warga sipil—diperkirakan sekitar 300 warga sipil tewas atau luka tambahan. Benteng kelima juga dibombardir dengan meriam kapal sampai pemimpin lokal mengibarkan bendera putih menyerah.
Ratusan penduduk tewas, termasuk perempuan dan anak-anak, sementara benteng dan pelabuhan dihancurkan.Total lima benteng daratan dan tiga perahu di pelabuhan dihancurkan Amerika selama pertempuran. Sekitar 150 prajurit dan 300 masyarakat sipil Aceh tewas dalam pertarungan di benteng, termasuk Uleëbalang Po Muhammad. Sementara dari pihak AS tercatat 2 tewas dan 11 luka. Adapun nasib Chadoolah atau Pocut Abdullah, raja Kuala Batu selama serangan tidak Amerika ketahui. Namun, narasi menunjukkan bahwa struktur penguasaannya runtuh setelah penghancuran benteng dan gugurnya pasukan lokal.
Serangan ini adalah operasi militer besar pertama yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Asia Tenggara, dan menandai dimulainya kebijakan militer luar negeri yang lebih agresif dari negara tersebut.
Dalam narasi Barat, ekspedisi tersebut dikisahkan sebagai kemenangan atas bajak laut. Namun, dari sudut pandang lokal Aceh, serangan itu adalah invasi mendadak yang menghancurkan pusat ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
Para pemimpin lokal yang sebelumnya menjalin hubungan dagang dengan bangsa asing, kini menyadari bahwa interaksi global bisa juga berarti kekerasan dan penghancuran. Kuala Batu tidak pernah kembali menjadi pelabuhan utama setelah serangan tersebut. Perdagangan bergeser ke pelabuhan-pelabuhan lain seperti Meulaboh, Barus, dan Padang.
Pada 9 Februari 1832, utusan Kuala Batu menghubungi kapal meminta perdamaian dan jaminan tidak akan menyerang kapal AS lagi. Janji ini diberi jangka waktu enam tahun.
Potomac tetap di kawasan selama beberapa hari untuk pemeliharaan, pengisian bahan bakar dan air, sebelum akhirnya melanjutkan pelayaran menuju Batavia pada 18 Februari, kemudian ke Hawaii, Amerika Selatan, dan kembali ke Boston pada Mei 1834 setelah menempuh sekitar 61.816 mil laut.
Reaksi di Amerika terbagia. New‑York Observer pada Juli 1832 menuduh pasukan AS melakukan pembantaian terhadap penduduk sipil malam hari, termasuk wanita bersenjata. Namun National Intelligencer tahun 1833 membela Downes dan kru sebagai tindakan yang heroik dan adil, menekankan keberanian dan "humanity" dalam melaksanakan misi bawahan instruksi pemerintah. Meskipun Downes dikritik, Presiden Jackson tetap mendukungnya; setelah kembali, Downes tak pernah kembali memimpin kapal laut .
Pada 12 Juli 1832, perwakilan Dearborn di House mengajukan resolusi yang menuntut penerbitan instruksi resmi kepada Commodore Downes terkait aksi di Kuala Batu. Reynolds menyertakan surat resmi Downes kepada Sekretaris Angkatan Laut, yang menegaskan:
Upaya negosiasi dilakukan terlebih dahulu melalui tokoh lokal (Po Adam), tetapi tidak membuahkan hasil.Sebelum serangan militer, Po Adam bertindak sebagai mediator antara Commodore John Downes dan Chadoolah, menyampaikan bahwa Chadoolah tidak akan menyerahkan pelaku atau memberikan kompensasi secara sukarela — sehingga indikasi bahwa diplomasi telah gagal dan kekuatan militer dianggap sebagai pilihan terakhir .
Setelah diplomasi gagal, unit Potomac melakukan pendaratan dan serangan militer terukur untuk menghancurkan benteng-benteng serta kapal proa lokal.
Menjelaskan jumlah personel (282 marinir/pelaut) serta korban: 2 orang AS tewas, 11 luka‑luka; dan sekitar 150 pejuang serta ~300 warga sipil di pihak lokal tewas atau luka-luka .
Potomac melanjutkan pelayaran keliling dunia, melewati Tahiti, Hawaii, Valparaiso, Makau, dan Canton. Setelah hampir tiga tahun, kapal tiba kembali di Boston pada 23 Mei 1834, menuntaskan pelayaran sekitar 61.000 mil laut
Ekspedisi di Kuala Batu pada 1832 tersebut menghentikan serangan ke kapal AS selama sekitar enam tahun sampai pada Agustus 1938, kapal dagang Amerika Eclipse diserang di Terbangan, membuka pintu konflik kedua. 24 penduduk lokal diberi senjata sebagai simbol pertemanan, namun kemudian membunuh awak kapal. Kabar ini sampai ke Komodor George C. Read yang sedang di Sri Lanka. Dalam waktu singkat, ia mengerahkan dua frigat—USS Columbia dan USS John Adams—dengan total sekitar 360 personel ke Aceh Selatan.
Pada Desember 1838–Januari 1839, AS kembali menyerang Aceh (di Meukek hingga Susoh) sebagai balasan atas pembunuhan awak kapal Eclipse di Terbangan, Pasie Raja. Serangan ini dikenal sebagai Second Sumatran Expedition.
Intervensi militer AS di Kuala Batu pada 1832 dan Meukek 1839 menjadi preseden bagi Belanda untuk menggunakan kekuatan angkatan laut dalam menghadapi Aceh. Dua tahun setelah ekspedisi AS ke Kuala Batu, pada tahun 1834, Belanda menginvasi Barus dan mendirikan pos militer. Pemimpin lokal Barus melakukan perlawanan, namun kalah karena persenjataan terbatas. Belanda kemudian menetapkan kontrol administratif terbatas di pelabuhan.
Setelah ekspedisi AS ke Meukek, pada tahun 1840-an, Belanda mulai membangun kantor dagang dan pos pengawasan di Singkil, mengklaim wilayah itu sebagai "zona pengaruh". Uleebalang Singkil sempat menerima bantuan dari Aceh Besar dan Pidie untuk menolak klaim Belanda. Belanda kemudian mulai merancang strategi militer dalam jangka panjang, terutama sejak Agresi Belanda Pertama ke Aceh tahun 1873.
Setelah penaklukan wilayah Aceh Besar dan Banda Aceh pada pertengahan 1870-an, Belanda mengalihkan perhatiannya ke kawasan selatan dan barat. Mereka menghadapi perlawanan gigih dari pemimpin lokal seperti Teuku Ben Mahmud Setia Raja dari Blangpidie, yang memimpin gerilya melawan ekspansi kolonial dari basis-basis di pegunungan dan pesisir.
Pada 1877, Belanda mengirim kapal uap Deli menyerang Kuala Batu akibat warga dan Uleebalang Kuala Batee; Teuku Raja Sulaiman setempat menunjukkan permusuhan dan menolak menyerahkan barang hasil rampokan. Setelah itu, Belanda melarang ekspor lada dari Kuala Batu untuk menekan rakyatnya.
Pada 14 Juli 1879, Belanda kembali menyerang menggunakan kapal Sambas. Teuku Raja Sulaiman tetap menunjukkan sikap bermusuhan, sampai ia terpaksa menandatangani Korte Verklaring pada Februari 1881. Perjanjian ini mencakup 18 pasal, ditandatangani bersama asisten residen K.F.H. van Langen. Sebelumnya Teuku Raja Sulaiman telah menandatangani versi awalnya pada 1875.
Antara tahun 1874–1878, Belanda menaklukkan Singkil, Susoh, dan Tapaktuan, dan membentuk pemerintahan kolonial terbatas di daerah itu. Wilayah Kuala Batu, Blangpidie dan titik-titik lainnya menjadi medan tempur antara pasukan kolonial Belanda dan para pejuang lokal. Selain sebagai tempat pertempuran, kawasan ini juga menjadi tempat di mana budaya lokal terus bertahan: bahasa, adat, hukum adat, dan jaringan perdagangan informal tetap hidup di bawah tekanan kolonialisme.
Dalam sejarah dunia, nama-nama seperti Kuala Batu mungkin hanya disebut sepintas sebagai catatan kaki dalam sejarah ekspansi Amerika atau kolonialisme Belanda. Namun bagi masyarakat Aceh dan pesisir barat Sumatra, Kuala Batu adalah tempat bertahannya ingatan kolektif, simbol perdagangan bebas dalam jaringan maritim nusantara, dan bukti kegigihan masyarakat Aceh dalam mempertahankan kedaulatan sosial-budayanya. Jejak-jejak pelabuhan lama, pondasi madat, nisan-nisan tua termasuk prasasti Shewbuntar, dan temuan-temuan bersejarah lainnya menjadi saksi dari peristiwa besar yang pernah terjadi di tepian Samudera Hindia ini.
Hari ini, jejak kejayaan dan luka sejarah Kuala Batu masih samar-samar terbaca dalam ingatan kolektif masyarakat pesisir barat Aceh. Reruntuhan sejarah itu kini menjadi bagian dari narasi besar tentang perdagangan global, kolonialisme, dan identitas maritim Aceh. Kuala Batu merupakan simbol pertemuan budaya, konflik peradaban, dan upaya bertahan dalam arus zaman yang terus berubah.