Nasional.Top

lisensi

Advertisement

Advertisement
Redaksi
Jumat, 25 Juli 2025, 16:03 WIB
Last Updated 2025-07-25T09:07:44Z
NewsOpini

Akad Nikah di Masjid, Antara Seremonial Romantisme Cinta atau Kesempurnaan Syariat ?

Advertisement

Ditulis oleh : Al Mukhrijal, S.H. (Penyuluh Agama Islam KUA Labuhanhaji Timur)


Prosesi akad nikah adalah momen yang sangat sakral dan penting dalam kehidupan seseorang. Ia menandai dimulainya babak baru dalam kehidupan berumah tangga, sebuah perjalanan suci yang mempersatukan dua insan berlainan jenis dalam ikatan perkawinan. Prosesi ini bukan hanya sekadar seremonial, melainkan sebuah perjanjian yang disaksikan oleh Allah SWT dan para hadirin, yang menandai komitmen seumur hidup antara dua individu untuk saling mencintai, menghormati, dan mendukung satu sama lain dalam suka dan duka.


Dalam agama Islam, terdapat rukun nikah yang harus dipenuhi agar pernikahan dianggap sah. Rukun nikah tersebut ada lima, yaitu: 1) adanya calon mempelai pria; 2) adanya calon mempelai wanita; 3) adanya wali nikah dari pihak mempelai wanita; 4) adanya dua orang saksi yang adil; dan 5) adanya ijab dan kabul (shighat). Kelima rukun ini merupakan fondasi yang tak terpisahkan dalam membangun sebuah pernikahan yang sah secara agama dan hukum. Ketiadaan salah satu rukun nikah, misalnya tidak adanya wali nikah, akan menyebabkan pernikahan tersebut tidak sah. Oleh karena itu, penting bagi setiap calon pengantin untuk memahami dan memastikan terpenuhinya kelima rukun nikah ini sebelum melangsungkan pernikahan.


Meskipun kelima rukun nikah tersebut wajib dipenuhi, terdapat beberapa kelonggaran dalam pelaksanaannya. Salah satunya adalah mengenai kehadiran wali dan mempelai pria. Keduanya diperbolehkan untuk mewakilkan kehadirannya kepada orang lain dalam prosesi akad nikah. Ketentuan ini memberikan kemudahan bagi calon pengantin yang mungkin berhalangan hadir secara fisik, misalnya karena sakit, berada di tempat yang jauh, atau alasan lainnya yang dibenarkan secara syar'i. Dengan adanya perwakilan yang sah, akad nikah tetap dapat dilangsungkan dan dianggap sah.


Perlu digarisbawahi bahwa bahwa ketidakhadiran mempelai wanita tidak mempengaruhi keabsahan akad nikah. Dengan kata lain, meskipun mempelai wanita tidak hadir secara fisik di majelis akad, akad nikah tetap dianggap sah. Hal ini dikarenakan kehadiran mempelai wanita bukanlah syarat sahnya akad nikah. Kehadirannya di majelis akad lebih bersifat sebagai penghormatan dan mengikuti tradisi, namun bukan merupakan suatu kewajiban yang menentukan sah atau tidaknya pernikahan. 


Dewasa ini maraknya prosesi akad nikah dimesjid yang dihadiri oleh para wanita kedua belah pihak mempelai tanpa adanya batas pemisah antara laki-laki dan perempuan sehingga berpotensi melanggarnya aturan agama. Bercampur baurnya antara laki-laki dan perempuan dalam prosesi akad nikah di masjid, terutama jika tidak ada kebutuhan syar'i yang mendesak, idealnya dihindari.  


Meskipun pelaksanaan akad nikah di masjid diperbolehkan, bahkan dianjurkan oleh sebagian ulama karena masjid merupakan rumah Allah dan tempat yang diberkahi, campur baur yang tidak terkendali antara laki-laki dan perempuan berpotensi menimbulkan fitnah, godaan, dan pelanggaran terhadap adab-adab yang seharusnya dijunjung tinggi di dalam masjid. 


Syeikh Abdullah bin Husain Ba'alawi (ulama mazhab Syafii) dalam kitabnya Is’ādur Rafīq Syarah Sullam At-Taufīq juz II halaman 68 menjelaskan haramnya laki-laki dan perempuan ikhtilat dalam berbagai macam pertemuan (majmuu’at), termasuk di dalamnya ikhtilat dalam acara pernikahan.


خَاتِمَةٌ : مِنْ أَقْبَحِ الْمُحَرَّمَاتِ وَأَشَدِّ الْمَحْظُورَاتِ اخْتِلَاطُ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ فِي الْمَجْمُوعَاتِ لِمَا يَتَرَتَّبُ عَلَى ذَلِكَ مِنْ الْمَفَاسِدِ وَالْفِتَنِ وَالْقَبِيحَةِ


“termasuk keharaman yang paling buruk dan paling besar adalah terjadinya ikhtilat antara kaum laki-laki dan perempuan dalam pertemuan-pertemuan, karena hal itu akan menimbulkan berbagai kerusakan, cobaan (fitnah), dan keburukan.” 


Dari Abu Hurairah dia berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


(خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا (رواه مسلم


“Sebaik-baik barisan laki-laki adalah barisan pertamanya dan seburuk-buruknya adalah barisan akhirnya. Sebaik-baik barisan wanita adalah barisan akhirnya dan seburuk-buruknya adalah barisan pertamanya.” (HR. Muslim, no. 664)


Ini merupakan dalil-dalil yang sangat terang tentang larangan syariat terhadap terjadinya ikhtilath, maka semakin jauh laki-laki dari barisan wanita, semakin baik baginya, dan wanita yang semakin jauh dari barisan laki-laki, semakin baik baginya. Jika masalah seperti ini diberlakukan di masjid padahal ia adalah tempat ibadah yang suci dimana laki-laki dan wanita umumnya menjauh dari perkara yang dapat membangkitkan birahi, maka memberlakukan ketentuan ini di tempat selainnya tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut lebih utama.


Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk menerapkan pemisahan antara laki-laki dan perempuan selama prosesi akad nikah berlangsung. Jika pemisahan secara fisik sulit dilakukan karena keterbatasan ruang atau kondisi lainnya, maka perlu dipastikan bahwa interaksi antara laki-laki dan perempuan tetap terjaga dalam batas-batas syariat, menghindari segala bentuk ikhtilat yang berlebihan dan dapat menimbulkan prasangka buruk.


Memang melaksanakan akad nikah di masjid hukumnya diperbolehkan, bahkan dianjurkan oleh sebagian ulama. Masjid merupakan tempat yang suci, tempat ibadah, dan tempat yang dimuliakan dalam Islam. Dengan melaksanakan akad nikah di masjid, diharapkan pernikahan tersebut mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. Namun, perlu diingat bahwa pelaksanaan akad nikah di masjid harus tetap memperhatikan adab-adab masjid dan ketentuan syara’, termasuk dalam hal interaksi antara laki-laki dan perempuan.


Dalam konteks akad nikah, jika terjadi campur baur yang berlebihan antara laki-laki dan perempuan, disertai dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat Islam, seperti tabaruj (berdandan secara berlebihan dengan tujuan menarik perhatian lawan jenis), memakai pakaian yang tidak menutup aurat, berbicara dengan suara yang dibuat-buat untuk menarik perhatian, atau bahkan sampai terjadi khalwat (berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram di tempat yang sepi), maka hal ini harus dihindari dan tidak dibenarkan, terlebih lagi jika dilakukan di dalam masjid. 


Jika kita melihat dari tinjauan adat istiadat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Aceh, bercampur baurnya laki-laki dan perempuan di dalam prosesi akad nikah baik di mesjid atau tempat lainnya sangat bertentangan dengan norma-norma adat yang berlaku dalam masyarakat. Karena, adat istiadat yang berjalan di Aceh khususnya dari dulu sampai sekarang tidak bisa dipisahkan dari agama, dua komponen tersebut berjalan beriringan saling keterikatan satu sama lain. Bahkan ada istilah yang dikenal dalam kehidupan masyarakat aceh "Adat ngon hukom lagee zat ngon sifeut" yang bermakna bahwa adat tersebut tidak bisa dipisahkan dari hukum islam, adat harus sejalan dengan hukum islam, sehingga dalam perjalanannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Kita juga mengenal istilah "Adat bersendi syara', syara' bersendi kitabullah" yang menandakan bahwa adat tersebut harus sesuai dengan aturan syariat yang berdasarkan kitabullah sehingga bisa diterima dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. 


Akad nikah bukan hanya seremonial belaka tetapi merupakan suatu peristiwa yang sangat sakral berlandaskan norma-norma agama, sehingga pelaksanaannya memperoleh keberkahan dari Allah swt. Maka, sangat di sayangkan jika ada sebagian orang yang beranggapan bahwa bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam acara akad nikah di masjid itu hal biasa yang sudah menjadi adat dan reusam yang berlaku dalam masyarakat, tanpa dia sadari itu mengundang murka dari Allah ta'ala. 


Masjid adalah tempat yang suci dan mulia, sehingga tidak pantas dinodai dengan perbuatan-perbuatan yang melanggar syariat. Masjid adalah rumah Allah, tempat ibadah, dan tempat yang dimuliakan dalam Islam. Oleh karena itu, kesucian dan kehormatannya harus senantiasa dijaga. Setiap kegiatan yang dilakukan di masjid, termasuk akad nikah, harus dilakukan dengan penuh adab dan menghindari segala hal yang dapat melanggar aturan syara’. Menjaga ketenangan, kebersihan, dan ketertiban di dalam masjid merupakan bagian dari adab bermasjid yang harus dipatuhi oleh setiap muslim. 


Untuk menghindari ikhtilat yang berlebihan dan menjaga kesucian masjid, sangat dianjurkan untuk menerapkan pemisahan antara laki-laki dan perempuan saat akad nikah di masjid. Pemisahan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan memisahkan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan, menggunakan tirai atau partisi sebagai pembatas, atau mengatur posisi laki-laki dan perempuan di ruangan yang berbeda. Jika pemisahan secara fisik sulit dilakukan karena keterbatasan ruang atau kondisi lainnya, maka semua yang hadir harus berkomitmen untuk menjaga adab dan sopan santun, menghindari interaksi yang berlebihan dan tidak perlu antara laki-laki dan perempuan, serta fokus pada prosesi akad nikah yang sedang berlangsung.


Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mempelai wanita tidak diwajibkan hadir dalam prosesi akad nikah. Akad nikah tetap sah meskipun tanpa kehadiran mempelai wanita secara fisik. Hal ini dikarenakan kehadiran mempelai wanita bukanlah salah satu syarat sahnya akad nikah.

 

Meskipun demikian, kehadiran mempelai wanita dalam prosesi akad nikah tetap dianjurkan sebagai bentuk penghormatan terhadap prosesi sakral tersebut dan sebagai simbol dari persatuan dua insan dalam ikatan pernikahan. Kehadirannya juga dapat menambah keberkahan dan kebahagiaan dalam memulai kehidupan berumah tangga. Namun, jika karena suatu halangan yang dibenarkan syariat, mempelai wanita tidak dapat hadir, maka akad nikah tetap dapat dilangsungkan dan dianggap sah. Yang terpenting adalah terpenuhinya rukun dan syarat nikah lainnya sesuai dengan ketentuan agama Islam. Dengan demikian, pernikahan tersebut sah secara agama dan hukum, dan kedua mempelai dapat memulai kehidupan berumah tangga dengan penuh keberkahan.


Meskipun akad nikah di masjid diperbolehkan dan bahkan dianjurkan, kemudian hadirnya mempelai wanita dan kaum hawa dari pihak kedua mempelai pelaksanaannya harus tetap memperhatikan adab-adab masjid dan ketentuan syariat Islam, termasuk dalam hal interaksi antara laki-laki dan perempuan. Prosesi akad nikah yang dihadiri oleh pria dan wanita sehingga terjadi interaksi yang berlebihan harus dihindari untuk mencegah terjadinya fitnah dan pelanggaran syariat. Pemisahan antara laki-laki dan perempuan merupakan solusi terbaik untuk menjaga kesucian masjid dan keberkahan acara akad nikah. Jika terdapat potensi terjadinya fitnah atau pelanggaran syariat, maka perlu dipertimbangkan untuk melaksanakan akad nikah di tempat lain atau dengan pengaturan yang lebih baik agar tercipta suasana yang khidmat, berkah, dan sesuai dengan tuntunan agama.