Nasional.Top

lisensi

Advertisement

Advertisement
Redaksi
Minggu, 09 November 2025, 21:40 WIB
Last Updated 2025-11-10T20:09:04Z
ActivismNews

Peringati Hari Pahlawan, Action dan Museum Susoh Ziarah ke Makam Pahlawan Teuku Cut Ali di Aceh Selatan

Advertisement
Tim Ekspedisi saat Berziarah ke Makam Teuku Cut Ali di Suaq Bakong


Aceh Selatan | Nasional.Top – Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan Nasional, 10 November 2025, LSM Aceh Culture and Education (Action) bersama Museum Susoh menggelar ziarah dan doa bersama di Makam Pahlawan Teuku Cut Ali, yang terletak di Gampong Suaq Bakong, Kecamatan Kluet Selatan, Kabupaten Aceh Selatan, pada Minggu (9/11).


Kegiatan ini menjadi bagian dari rangkaian Ekspedisi Labai Dappa Trumon, yang diikuti oleh tim peneliti dan pegiat budaya: Aris Faisal Djamin, Assauti Wahid, Teuku Ilham Apriliansyah, Amalul Ahli, Hatfan Aufari, dan Teuku Lanang AP.


Ketua DPP Action, Aris Faisal Djamin, menjelaskan bahwa selama ekspedisi, tim Action dan Museum Susoh melakukan penelusuran sejarah dan budaya di sejumlah wilayah, mulai dari Meukek, Tapaktuan, Pasie Raja, Kluet, hingga Trumon.


Tim Ekspedisi saat berada di Benteng Kuta Batee Kerajaan Trumon


“Di Meukek, kami mengunjungi rumah Muhammad Djamin Arsyad, saudagar terkemuka sekaligus pimpinan Panitia Penuntut Pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya pada tahun 1960-an. Di Tapaktuan, kami bersilaturahmi dengan Raja Tapaktuan ke-XI, Haji Teuku Laksamana, serta meninjau Masjid Tuo Al-Khairiyah, Meriam Kampuang Aie, dan rumah-rumah bergaya Rumah Gadang Kajang Padati di Tapaktuan yang mencerminkan peradaban awal masyarakat Aneuk Jamee,” jelas Aris.


Ia menambahkan, di Terbangan, Pasie Raja, tim meninjau Bekas Benteng Kuta Seuneubok. Di Trumon, mengunjungi Benteng Kuta Batee dan kompleks makam raja-raja Trumon, termasuk makam Labai Dappa. Sedangkan di Kluet Selatan melakukan ziarah ke Makam Pahlawan Teuku Cut Ali di Suaq Bakong. Ekspedisi ditutup dengan kunjungan ke Masjid Tuo Pulo Kameng di Kluet Utara.


Tim Ekspedisi berfoto di samping Makam Labai Dappa (Teungku Djakfar/Tengku Singkel) di Komplek Makam Raja-Raja Trumon


Sementara itu, Kepala Museum Susoh Teuku Ilham Apriliansyah menegaskan bahwa perjuangan Teuku Cut Ali tidak bisa dilepaskan dari kiprahnya sebagai salah satu panglima kepercayaan Teuku Ben Mahmud Setia Raja, pahlawan besar Perang Aceh di wilayah barat-selatan.


“Teuku Cut Ali bukan hanya pejuang yang berani di medan perang, tetapi juga panglima kepercayaan Teuku Ben Mahmud Blangpidie yang sangat loyal dan strategis,” ujar Teuku Ilham.


“Ziarah ke makam Teuku Cut Ali ini kami maknai sebagai bentuk penghormatan kepada warisan perjuangan pahlawan besar Aceh Selatan tersebut,” tutupnya.



Sekilas Sejarah Perjuangan Teuku Cut Ali


Djamin dan Nawafil dalam buku “Teuku Bentara Mahmud Setia Radja: Pahlawan Besar Perang Aceh” (2024) mengungkapkan bahwa Teuku Cut Ali lahir pada tahun 1895 di Desa Kuta Baro, Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, dari pasangan Teuku Cut Hajat dan Nyak Putroe.


Sejak remaja ia telah mengangkat senjata melawan Belanda. Pada usia muda diangkat menjadi Panglima Sagoe dan kemudian menjadi salah satu panglima kepercayaan Teuku Bentara Mahmud Setia Raja.


Nawafil (2025) mengungkapkan bahwa Cut Ali merupakan salah satu panglima kepercayaan Teuku Ben Mahmud Blangpidie, dan terlibat dalam berbagai pertempuran besar, antara lain penyerangan terhadap Letnan Demoor (1905), Kontroleur Trumon, dan Pertempuran Batu-Batu (1907).


Pada tahun 1908, ia bersama pasukan Teuku Ben Mahmud memimpin orang-orang Meulaboh menghadapi pasukan Letnan Snoeck di Krueng Batee, yang menewaskan 13 orang. Ia dikenal sebagai ahli strategi gerilya yang piawai menyerang bivak dan patroli Belanda dengan taktik klewang cepat di malam hari.


Nawafil menambahkan bahwa dalam catatan Belanda, Teuku Cut Ali digambarkan sebagai “kepala pemberontak utama dari Ben Blangpidie” — menunjukkan reputasinya sebagai panglima Teuku Ben Mahmud paling disegani di Aceh Selatan. Ia bergerak secara cepat dari satu lembah ke lembah lain, menghimpun kekuatan rakyat, dan terus melakukan perlawanan di Kluet, Trumon, dan Bakongan.


Saat Teuku Ben Mahmud turun gunung pada tahun 1908, Teuku Cut Ali turut membersamainya. Setelahnya, perjuangan melawan penjajah Belanda di wilayah Aceh Selatan baru bergelora kembali pada tahun 1925 yang dipimpin Teuku Cut Ali, Teuku Raja Angkasah dan Teuku Maulud. 


Pada 1 Maret 1926, terjadi peristiwa di Gunong Kapho, di mana kelompok Teuku Maulud melakukan penyerangan terhadap satu regu marsose yang dipimpin Sersan Gruneveld dan membuat 9 prajurit marsose tewas, 7 luka parah dan 2 prajurit marsose luka ringan. Teuku Maulud dan pasukannya berhasil merampas 16 pucuk karaben. Setelahnya pada 26 Maret 1926, di Krueng Batee, Teuku Cut Ali melakukan pertemuan dengan kelompok Teuku Maulud. Mereka memutuskan untuk melanjutkan perlawanan.


Setelah Teuku Maulud dikalahkan oleh Kapten Snell pada pertempuran Krueng Batee, Trumon pada 20 Maret 1926, Cut Ali menjadi jiwa perlawanan dan dia berperilaku sepenuhnya sesuai dengan mantan komandannya; Teuku Ben Mahmud Blangpidie, dengan menghindari bahaya selama mungkin dan berusaha meningkatkan dukungannya sebanyak mungkin. Dia mengikuti kebijakan intimidasi Belanda: Brigade-brigade ditantang, baik secara lisan maupun tertulis, untuk bersaing dengannya, dan serangan klewang yang sengit dilakukan terhadap brigade-brigade yang melakukan patroli dan bivak secara sembarangan untuk melemahkan semangat pasukan dan untuk mendapatkan senjata api sebanyak mungkin.


Pada 7 Maret 1926 brigade divisi 4 dan 5 dengan kekuatan yang sangat besar bergerak ke Trumon. Pasukan ini dipimpin oleh kapten Snell, yang selanjutnya membagi pasukannya menjadi beberapa patroli. Patroli yang dipimpin oleh letnan A.K.V. Heerde memergoki pasukan Teuku Cut Ali di Alue Laton di Seuneubok Keuranji, Bakongan, dalam pertempuran tersebut letnan Heerde mendapat tetakan dan luka di lututnya tetapi berhasil diselamatkan oleh sersan marsose Kaligis. Sedangkan satu orang marsose tewas. Sementara itu 5 keraben yang hilang berhasil direbut kembali. Di pihak Aceh 6 orang gugur sebagai syuhada. Pada waktu itu Teuku Cut Ali sakit dan harus mendapatkan perawatan di Krueng Batee selama beberapa waktu, sementara pasukannya kembali ke Trumon.


Dalam perang di Bakongan dan Pasie Raja dengan Teuku Cut Ali, beberapa perwira Belanda gugur. Kapten J. Paris yang dijuluki Singa Afrika, seorang sersan, seorang korporaal dan enam prajurit marsose Belanda tewas serta 12 lainnya terluka dalam pertempuran dengan Teuku Cut Ali dan Panglima Rajo Lelo di Sape, Bakongan pada 3 April 1926. Setelahnya pada 15 April 1926, pasukan Teuku Cut Ali menyerang brigade marsose yang dipimpin oleh Sersan Pongoh di Ujong Pulo Rayek. Dalam serangan tersebut 4 orang marsose mengalami luka parah dan 4 orang lainnya luka ringan. Pada 18 Mei 1926, pasukan Teuku Cut Ali kembali melakukan penyerangan terhadap pasukan Letnan H.J.M. Klaar di Lembang. Dalam pertempuran tersebut 2 orang Belanda tewas dan 7 luka-luka termasuk Letnan Klaar yang hampir tewas disabet klewang. Pada 11 Agustus 1926, Letnan Satu Willem Anne Maurits Molenaar tewas di tangan Teuku Nago dan Teuku Cut Ali dalam pertempuran di bivak Terbangan, Pasie Raja.


Peristiwa ini mengguncang pemerintahan kolonial di Kutaraja, karena Teuku Cut Ali dan pasukannya berhasil menewaskan dua perwira penting dalam waktu berdekatan.


Pertempuran terakhir Teuku Cut Ali terjadi pada 25 Mei 1927. Dalam pertempuran sengit di wilayah Alu Burang-Lawe Sawah, Kluet Timur, ia bertempur melawan kepungan pasukan Kapten G.F.V. Gosenson sehingga Teuku Cut Ali syahid.


Dalam pertempuran tersebut turut gugur pula beberapa pejuang, antara lain Teuku Nago, perencana penyerangan Bivak Terbangan (11 Agustus 1926); Imum Sabi, perencana utama serangan terhadap patroli Harting Dom (2–3 Mei 1927); serta dua perempuan yaitu istri Teuku Cut Ali yang bernama Fatimah dan istri Teuku Karim bin Teuku Ben Mahmud yang bernama Nyak Meutia binti Teuku Nago.


Menurut Djamin dan Nawafil (2024), kepala Teuku Cut Ali dimakamkan di tepi Sungai Kandang–Suaq Bakong, Kluet Selatan, sementara tubuhnya dimakamkan di Alu Burang–Lawe Sawah, Kluet Timur. Pada nisannya tertulis “Tjoet Ali gesneu veld 25 Mei 1927” — Cut Ali tewas di medan perang, 25 Mei 1927.


Perjuangan Teuku Cut Ali menjadi simbol ketangguhan rakyat Aceh Selatan melawan kolonialisme, dan namanya kini diabadikan sebagai Bandar Udara Teuku Cut Ali di Aceh Selatan.