Nasional.Top

lisensi

Advertisement

Advertisement
Redaksi
Selasa, 16 September 2025, 22:47 WIB
Last Updated 2025-09-17T09:29:19Z
NewsOpini

Habib Abdurrahman az-Zahir: Dari Perdana Menteri Aceh hingga Informan Kolonial di Jeddah

Advertisement
Habib Abdurrahman az-Zahir Mudabbir al-Muluk al-Asyi

Penulis : Rozal Nawafil; ASN Pemkab Aceh Barat Daya, Wakil Sekretaris PD Perti Aceh, Wakil Ketua DPP Aceh Culture and Education (Action)


Untuk menggambarkan betapa besar pengaruh para Habaib dari Hadramaut di Aceh, cukup disebutkan bahwa mereka adalah keturunan langsung Nabi. Dalam waktu singkat mereka dapat menempatkan siapa pun di tahta, dan bahkan menurunkan Sultan yang berkuasa. Sejarah militer Hindia Belanda bisa memberi banyak contoh tentang bagaimana para Habaib di Aceh telah memainkan peran yang amat kuat.


Adalah pada tahun 1832, di Hadramaut, Yaman, seorang anak laki-laki lahir dari keluarga bangsawan yang baik, yang sejak kecil sudah menunjukkan tanda-tanda kepintaran yang menonjol. Ia adalah Syed Abdurrahman bin Muhammad Az-Zahir, seorang Sadah Ba'alawi yang ibunya merupakan putri dari salah satu keluarga bangsawan besar Arab.


Ayahnya yaitu Syed Muhammad A-Zahir adalah seorang pedagang grosir yang dua tahun setelah kelahiran Abdurrahman pindah ke Malabar, India dengan membawa serta anaknya.


Sebagai anak yang masih kecil, Abdurrahman telah menunjukkan keberanian luar biasa; ia ditakdirkan untuk melihat dunia luas. Pada usia yang masih sangat muda, ia dikirim ke Mekkah untuk belajar. Ia kemudian dikirim ke Konstantinopel (Istanbul), di mana ia melanjutkan pelajarannya di bawah asuhan Habib Fadil bin Alwi Sahil Mauladdawilah. Dari sana ia pergi ke Mesir.


Di Kairo, Habib Abdurrahman Az-Zahir belajar di Al-Azhar pada Syaikhul Akbar, Syamsuddin Al-Anbabi. Ia belajar fikih mazhab Syafi'i. Kemudian ia ke India, di mana ia menuntut ilmu di Kalkuta. Ia mempelajari ilmu kedokteran, dan kembali ke tanah kelahirannya dengan ijazah resmi sebagai seorang tabib.


Selain itu, ia juga menguasai bahasa asing, terutama Turki, Persia, dan bahasa Eropa. Dengan bekal ini, ia kembali ke Hadramaut sebagai seorang intelektual kosmopolitan.


Namun, minatnya pada politik pemerintahan ternyata jauh lebih besar daripada minatnya pada dunia medis. Ia mengembara lagi ke berbagai negeri: Italia, Jerman, dan Perancis. Di Paris, ia berinteraksi dengan kalangan politik Eropa. Sementara di Konstantinopel, ia berhasil masuk ke lingkaran dalam istana Utsmani, bahkan memperoleh kedudukan penting yang menunjukkan betapa besar pengaruhnya.


Perjalanannya kemudian membawanya ke Hindia Belanda. Ia sempat singgah di Batavia, lalu bergerak ke Penang, Singapura, Bombay, dan kembali ke Kalkuta. Dengan cara demikian, ia telah menghubungkan dirinya dengan dunia Barat dan Timur.


Pada tahun 1864, ia tiba di Aceh, setelah selama beberapa waktu tinggal di India. Di Aceh ia menjadi Menteri Keuangan, Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman dan penasihat utama Sultan Ibrahim Mansyur Syah, yang saat itu sedang bersiap menghadapi ancaman Belanda.


Tak lama kemudian ia diangkat menjadi Mudabbir al-Muluk (perdana menteri) atau wazir agung. Ia mengatur hubungan luar negeri, mengirim utusan ke Turki, Mesir, India, dan negeri-negeri lainnya.


Namun, dominasi Habib di istana memicu kebencian. Sebagian pejabat dan uleebalang menuduhnya berambisi menjual Aceh kepada Belanda. Tuduhan ini, dialamatkan setelah ia mengusulkan untuk mengizinkan Belanda masuk ke Aceh untuk berdagang. Isu inilah yang memperlemah posisi Habib.


Panglima Tibang, salah satu tokoh militer berpengaruh, bahkan menjadi lawan politik utamanya. Rivalitas antara “fraksi Habib” dan “fraksi Tibang” menimbulkan keretakan di tubuh istana, memperlemah diplomasi Aceh, dan menjadi salah satu faktor yang memicu kegagalan kesultanan menghadapi ancaman Belanda. Adapun Sultan Muda (Sultan Mahmud) cenderung berpihak dengan Panglima Tibang.


Melihat tanda akan terjadinya agresi militer Belanda di Aceh. Habib diperintahkan menuju ke Konstantinopel. Ia ditugaskan meyakinkan Sultan Utsmani agar memberikan perlindungan bagi Aceh. Ia juga mengirim utusan ke Mesir, dan menjalin hubungan dengan para pedagang Arab. Namun semua usahanya tidak membuahkan hasil.


Pada saat, Sultan baru Aceh, yaitu Sultan Alaiddin Mahmudsyah, sedang menghadapi kesulitan besar akibat ekspedisi militer Belanda pada 1873, Habib tidak kembali ke Aceh, dan memilih berlayar ke Penang.


Untuk menjaga pengaruhnya, ia ikut membantu Dewan Delapan. Sebuah organisasi orang Aceh di Penang, dipimpin Teuku Paya, dengan anggota: Teuku Ibrahim, Syekh Ahmad, Nyak Abu, Panglima Prang Haji Yusuf, Gullahmeidin, Umar, dan Syekh Kasim. Mereka berfokus menggalang dana, senjata, mesiu, dan perlengkapan perang untuk dikirim ke Aceh.


Setelah beberapa lama tinggal di Pulau Penang, pada pertengahan tahun 1876, Habib Abdurrahman az-Zahir kembali ke Aceh. Ia melakukan perjalanan penuh risiko: mencukur habis rambutnya, menyamar sebagai seorang India Muslim, lalu menumpang kapal kecil. Ketika kapal tersebut harus diperiksa oleh patroli Belanda di Idi, Habib diam-diam turun dengan perahu kecil Aceh dan mendarat di Pedawa Puntong.


Sesampainya di darat, ia segera mendapat dukungan dari 50 orang sukarelawan yang bersumpah setia menjadi pengawal pribadinya dalam perjalanan menuju Aceh Besar. Di sepanjang jalur yang dilaluinya, rakyat Aceh menyambutnya dengan penuh hormat. Kedatangannya membawa legitimasi religius yang kuat. Uang, tenaga, dan dukungan moral dicurahkan kepadanya, sementara para pemuda bergabung di bawah panjinya.


Kesaksian Belanda menggambarkan betapa meriahnya dukungan itu. Rakyat Aceh berbondong-bondong dengan senjata seadanya: bedil kuno, klewang, tombak, atau senjata tradisional lain. Mereka berpakaian sederhana; mantel duffel, kain basah yang dililitkan ke tubuh, atau gaun Aceh yang ditarik tinggi agar mudah bergerak. Dengan penuh semangat mereka menembus rawa, mendaki bukit, dan bergerak cepat di sepanjang pantai untuk menyambut Habib.


Di Pidie, ia berhasil mengumpulkan dana sebesar 17.000 dolar dan pasukan sekitar 10.000 orang. Dari sana, ia menulis surat kepada para uleebalang Aceh Besar, menanyakan apakah mereka menginginkannya sebagai pemimpin, dan jika iya, dalam kapasitas apa. Jawabannya jelas: mereka menyambutnya dengan penuh sukacita. Ketika ia tiba di Indrapuri, Habib diproklamasikan sebagai panglima perang dalam sebuah pertemuan di Masjid Montasik. Namun, realitasnya tidak semua tokoh tunduk kepadanya. Panglima Polem dan sejumlah uleebalang besar sering bersikap mandiri.


Habib memimpin empat serangan besar terhadap Belanda, termasuk pengepungan Krueng Raba, Uleelheue, dan bahkan Kutaraja. Ia meraih beberapa kemenangan penting, tetapi kekuatannya terkikis oleh perpecahan internal. Dalam salah satu pertempuran, ia bahkan harus berpura-pura menjadi mayat agar bisa lolos dari kepungan Belanda.


Kampanye militernya mencapai puncak ketika ia memperkuat posisi di Montasik dan membangun pertahanan di Anak Galong. Meski bertahan dengan gagah berani, pasukan Belanda di bawah Jenderal Van der Heijden akhirnya berhasil mematahkan pertahanan itu.


Mengetahui bahwa perpecahan bangsawan semakin memperlemah barisan, Habib mengambil keputusan untuk mencari jalan damai. Ia mengajak para pemimpin Aceh yang berkumpul di Montasik untuk berhenti berperang. Hanya lima uleebalang yang setuju, sementara tujuh lainnya tetap ingin melawan. Habib membiarkan mereka dengan pilihan masing-masing, dan ia sendiri berunding dengan Van der Heijden.


Pada tanggal 13 Oktober 1878, Habib Abdurrahman Az-Zahir resmi menyerahkan diri kepada Belanda di Kutaraja bersama mertuanya; Teuku Muda Baet. Sebagai imbalannya, ia meminta izin tinggal di luar Aceh dengan tenang.


Belanda menerima penyerahan itu, dan membawanya menggunakan kapal Ms Cuaracao ke Jeddah. Melalui Haji Habib Jauhar Baharun, Belanda memberinya uang pensiun sebesar seribu riyal per bulan, agar dapat hidup dengan layak di sana.


Sejak saat itu, peran Habib di Aceh berakhir sama sekali. Belanda menganggapnya tidak lagi berbahaya, dan ia sendiri seolah puas dengan kedudukan barunya sebagai seorang tokoh buangan.


Di Jeddah, ia menikahi kembali istrinya yang pertama, Syarifah Fatimah, yang sebelumnya telah ia tinggalkan. Ia hidup dalam keadaan cukup, meskipun jauh dari tanah air yang pernah ia coba bela.


Belanda menilai kepergian Habib sebagai momen penting: selama ia berada di Aceh, pengaruhnya sangat besar, dan hanya kepemimpinan militer keras seperti Van der Heijden yang mampu menandinginya. Setelah pemerintahan sipil parlementer menggantikan Van der Heijden, Belanda justru menyesal kehilangan figur seperti Habib yang bisa dijadikan “penengah” untuk mengendalikan bangsawan Aceh.


Dalam catatan Belanda, Habib tampil memukau saat penyerahan: berbusana sorban hijau, jubah putih panjang, mantel hitam berhias pipa emas, dan pedang bertatahkan permata. Penampilannya yang penuh wibawa membuatnya tetap dihormati, bahkan oleh lawan. Bagi orang Aceh, karisma Habib bersumber bukan hanya dari keberaniannya, tetapi juga dari statusnya sebagai keturunan Nabi.


Habib Abdurrahman tinggal di Jeddah dengan tenang. Ia tidak lagi mencampuri urusan politik Aceh. Namun, ia tetap dipandang sebagai seorang tokoh terhormat di kalangan masyarakat Arab, terutama karena kedudukannya sebagai Habib. Ia juga sering dikunjungi oleh para jemaah haji dari Nusantara. Dengan cara itu, namanya tetap dikenal luas di Aceh.


Pada 1884, ia bertemu dengan orientalis Belanda Christiaan Snouck Hurgronje di Konsulat Jenderal Belanda, Jeddah. Dalam kesempatan itu, Habib memberikan informasi penting mengenai Aceh, para pemimpin, serta dinamika perlawanan. Ia juga menulis sebuah nota berisi nasihat kepada Belanda: rakyat Aceh yang religius hanya akan tunduk apabila ada seorang pemimpin Muslim yang saleh sebagai simbol, sementara Belanda mengendalikan pemerintahan dari belakang layar.


Konsul Jenderal J.A. Kruyt menyampaikan nota ini kepada Menteri Luar Negeri Belanda pada 13 September 1884. Namun, pemerintah kolonial Hindia Belanda menolak usulan itu, karena sudah tidak percaya lagi pada Habib. Baru empat tahun kemudian, pada 26 Juli 1888, Snouck Hurgronje menyampaikan kembali isi nota pribadi Habib kepada Menteri Jajahan, menjadikannya bahan penting dalam penyusunan strategi kolonial di Aceh.


Saat Snouck datang ke Aceh sebagai penasihat resmi kolonial Belanda pada 1891. Ilmu dan jaringan yang ia peroleh sejak dari Jeddah, termasuk dari Habib Abdurrahman, menjadi senjata politik “menghancurkan Aceh dari dalam” dengan memecah ulama dan uleebalang.


Habib hidup terus di Jeddah sampai wafat pada tahun 1896. Ia dimakamkan di tanah suci, jauh dari tanah Aceh yang pernah ia coba bela dan pimpin. Para jamaah haji Nusantara mengenangnya sebagai seorang tokoh terhormat, meskipun di mata sebagian orang Aceh ia telah dianggap sebagai sosok oportunis yang memperlemah perjuangan.


Dengan demikian, berakhirlah riwayat seorang tokoh yang penuh ambisi dan bakat, yang telah memainkan peran besar dalam sejarah politik Aceh, tetapi akhirnya menghabiskan sisa hidupnya dalam pengasingan yang tenang di tanah Arab.