Nasional.Top

lisensi

Advertisement

Advertisement
Redaksi
Jumat, 27 Juni 2025, 22:47 WIB
Last Updated 2025-06-27T15:48:38Z
NewsOpini

Mengenal Teuku Ben Mahmud: Hidup untuk Bangsa, Mati dalam Sunyi

Advertisement


Di antara riuh perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonialisme, satu nama besar nyaris terlupakan oleh sejarah arus utama, meski jejak perjuangannya mencengangkan dan memanjang dari barat Aceh hingga Tanah Batak dan Halmahera Timur. Ia adalah Teuku Bentara Mahmud Setia Radja — atau lebih dikenal sebagai Teuku Ben Mahmud, gerilyawan yang dijuluki Belanda sebagai “gerilyawan ulung berkaliber internasional”.

Ia wafat di tanah asing, tanpa diketahui bangsanya selama berpuluh-puluh tahun. Tapi di sepanjang hutan barat Aceh, jejaknya masih terasa. Dia panglima gerilya yang membuat Belanda tak bisa tidur satu dasawarsa lamanya

Teuku Ben Mahmud lahir di Blangpidie sekitar tahun 1860. Ia adalah seorang pemimpin adat dan bangsawan yang dipercaya langsung oleh Sultan Aceh, dan dianugerahi gelar resmi "Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja, Wakil Sultan Aceh, berkuasa memegang hukum dengan adat dan wali dan lain-lain".

Ia adalah badai di barisan gerilya. Seorang pemimpin adat, komandan tempur, pendidik pasukan, dan penggerak rakyat yang membuat Belanda tidak pernah tenang selama lebih dari satu dekade.

Saat kolonial Belanda mulai menyodorkan Korte Verklaring — perjanjian politik untuk menjadikan para uleebalang sebagai penguasa lokal di bawah kendali mereka — Teuku Ben Mahmud menolak keras. Bahkan tawaran jabatan Zelfbestuurder (penguasa lokal kolonial) ia campakkan. Penolakannya bukan keputusan biasa. Itu adalah pernyataan perang.

Dari tahun 1899 hingga 1908, ia memimpin perang gerilya paling besar, paling luas dan paling strategis di pesisir barat Aceh, dari hulu Seunagan sampai Singkil mencakup wilayah-wilayah seperti Trumon, Kluet, Tapaktuan, Meukek, Labuhan Haji, Manggeng, Tangan-Tangan, Blangpidie, Kuala Batee hingga Tripa dan Seunagan. Bahkan medan gerilya nya juga meliputi Dataran Tinggi Gayo, Alas hingga Tanah Batak.

Teuku Ben Mahmud menyatukan pasukan Aceh dan Gayo serta memimpin langsung serangan ke bivak Blangpidie dan Tapaktuan, lalu bergerak ke pedalaman Gayo dan Alas untuk mendirikan markas baru. Serangan pasukan Teuku Ben Mahmud ke bivak Belanda di Blangpidie pada 7 Juni 1901, membuat markas musuh terbakar dan pasukan kolonial tercerai-berai. 

Serangan-serangan pasukan Teuku Ben Mahmud tidak bisa ditebak — cepat, senyap, dan mematikan. Ia membentuk jaringan militer terorganisir dan independen, membina rakyat jadi pejuang, menjadikan hutan dan pegunungan sebagai markas, dan desa-desa sebagai titik logistik bawah tanah. Setiap wilayah memiliki panglimanya, namun semua tunduk pada satu komando: Teuku Ben Mahmud.

Dalam laporan-laporan militer Belanda, disebutkan bahwa pengaruh Teuku Ben Mahmud di pantai barat sangat besar, sehingga hampir tidak ada perlawanan yang terjadi tanpa sepengetahuannya. Ia menjadi pemegang kendali utama seluruh jaringan gerilya dari Seunagan hingga Singkil.

Belanda menyebut barisannya sebagai "pasukan klewang", strategi mereka sebagai “serangan bayangan” — datang menyerang, lalu lenyap dalam hutan yang gelap. Tidak ada perang terbuka. Tidak ada negosiasi. Yang ada hanyalah perlawanan gigih tanpa henti.

Bahkan Belanda pun harus mengakui kemampuannya. Tidak kurang dari 760 pucuk senjata api dan meriam, Belanda dapatkan dari pasukan Teuku Ben Mahmud dalam kurun waktu 1899–1908.

Dalam arsip militer Hindia Belanda, Teuku Ben Mahmud disebut “Gerilyawan paling berbahaya di pantai barat, tak dapat dilacak, tak dapat didamaikan, dan tetap hidup dalam kepala rakyat sebagai simbol keberanian.”

Belanda mencoba segalanya. Mereka menyandera keluarganya, termasuk anak-cucunya, membakar kampung-kampung pendukung, menebar mata-mata dan pengkhianat, dan memutus jalur logistik di pesisir dan pedalaman.

Tapi Teuku Ben Mahmud tetap bertahan. Ia bergerak ke Tanah Gayo, membangun basis baru bersama orang Alas dan Gayo, membentuk jaringan logistik melalui rakyat, bahkan melibatkan tukang besi Tionghoa di Singkil. Ia memimpin dari jarak jauh, tapi perintahnya ditaati seperti titah sultan.

Teuku Ben Mahmud juga menjalin aliansi pertempuran dengan Sisingamangaraja XII di Tanah Batak. Awal tahun 1907, Teuku Ben Mahmud dan pasukannya membantu perjuangan Sisingamangaraja XII di wilayah Dairi dan Pakpak Bharat. Mereka menyerang sekolah, markas, hingga gereja Belanda. Ia membuktikan bahwa perlawanan Aceh bukan sekadar lokal, tapi bagian dari jihad akbar melawan kolonialisme di seluruh nusantara.

Pada 1908, setelah satu dekade perang gerilya tanpa henti, banyak panglimanya gugur atau tertawan. Selain itu, keluarga Teuku Ben Mahmud juga ditawan. Belanda membakar kampung dan menyekat logistik di semua jalur.

Sehingga Teuku Ben Mahmud mengambil keputusan berat dan paling sulit dalam hidupnya yaitu turun gunung, bersama 160 pengikut bersenjata. Ia datang ke Tapaktuan dengan kepala tegak.

Syair Bentara Mahmud Setia Raja mengungkapkan bahwa Teuku Ben Mahmud turun gunung bukan karena kemauannya sendiri. Malah menurutnya "Apa gunanya ta‘kluk sekarang? Kompeni ini dilawan berperang... Panglima kita banyak yang garang.”.

Ia turun gunung bukan karena kekalahan militer. Tetapi akibat tekanan sosial dan politik yang mengisolasi perjuangannya seperti permintaan anak dan keluarganya yang ditawan, infiltrasi dari bangsawan Aceh sendiri, lobi politik dari beberapa panglimanya, serta diplomasi cerdik perwira Belanda seperti Kapiten Scheepens yang menguasai adat dan bahasa Aceh.

Pasca turun gunung, Teuku Ben Mahmud memilih menetap di sekitar Masjid Jamik Blangpidie. Belanda menawarkan jabatan kembali. Ia tolak. Malah mulai mengisi waktu dengan berkhalwat, menulis, dan membina generasi muda secara sembunyi-sembunyi. Ia menjadi poros spiritual dan moral, terutama bagi para mantan pejuang yang kembali ke masyarakat namun tidak ingin kehilangan ruh perlawanan.

Ia turun gunung bukan untuk tunduk, tapi untuk menyelamatkan. Ia tak pernah menyerah. Hanya berpindah medan: dari hutan ke masjid, dari senjata ke hikmah. Dan di sanalah ia menang — tanpa harus diakui siapapun.

Tahun 1910–1911, Belanda mulai menyadari bahwa meski tidak lagi bergerilya, pengaruh Teuku Ben Mahmud jauh lebih besar dari yang mereka perkirakan.

Belanda menduga Teuku Ben Mahmud melindungi sisa-sisa pasukan gerilya di pegunungan Tripa dan Seunagan, mendukung kaderisasi senyap di kampung-kampung Aceh Barat Daya, bahkan terlibat dalam eksekusi seorang mata-mata Belanda bernama Abdul Hamid di Meukek.

Akhirnya, pada tahun 1911, Belanda mengambil langkah drastis: Belanda menjatuhkan hukuman internering — pengasingan tanpa pengadilan. Teuku Ben Mahmud dibuang ke Maluku Utara, wilayah yang sangat jauh dari kampung halamannya dan minim akses. Ia diangkut menggunakan Kapal Van Doorn, tanpa disertai keluarganya.

Namun setelah Teuku Ben Mahmud diasingkan, warisan perjuangannya masih terasa di pantai Barat Selatan Aceh, di mana semangat adat dan keberanian masih menyala, dimana rute gerilyanya menginspirasi perlawanan panjang selama puluhan tahun. Warisan perjuangannya hidup dalam tokoh-tokoh sesudahnya: Cut Ali, Teungku Peukan, Panglima Raja Lelo dan Teuku Karim bin Teuku Ben Mahmud — para panglima baru yang menyalakan api perjuangan di selatan Aceh.

Pengasingan di Maluku Utara, juga tak pernah mematikan tekad Teuku Ben Mahmud. Disana ia dikenal dengan nama samaran Tengku Rahmat. Ketika Jepang menjajah Hindia Belanda tahun 1942, ia berada di garda depan dalam membantu rakyat setempat bertahan dari kekejaman militer Jepang.

Ia ikut membantu mengatur distribusi makanan, membentuk semacam lembaga keadilan rakyat lokal, dan menjaga nilai-nilai kemerdekaan hidup dalam jiwa generasi muda Halmahera Timur.

Teuku Ben Mahmud wafat pada 28 Maret 1974 dalam usia 114 tahun, di Saramaake, Halmahera Timur, tempat ia dikenang sebagai orang luar yang paling dicintai. Ia dimakamkan di atas sebuah bukit yang sekarang disebut Bukit Rahmat, jauh dari Blangpidie yang ia cintai. 

Sosok yang dipanggil "Tete Aceh" oleh masyarakat Saramaake tersebut meninggal jauh dari tanah kelahirannya, tanpa sepengetahuan keluarga dan keturunannya di Aceh. Tidak ada plakat resmi. Tidak ada gelar negara.Tapi rakyat yang mengenalnya tahu bahwa mereka pernah dilindungi oleh seorang pemimpin besar yang tak pernah meminta dikenang. 

Teuku Ben Mahmud tidak mati karena kalah. Ia memilih konsekuensi agar rakyatnya hidup. Ia tidak mati sebagai pahlawan yang dielu-elukan, tapi hidup dalam sunyi. Kisahnya banyak dilupakan.

Tapi kini, perlahan, lembaran sejarah kembali ditemukan. Dikumpulkan oleh anak bangsanya dalam buku Teuku Bentara Mahmud Setia Radja; Pahlawan Besar Perang Aceh. Di atas Bukit Rahmat, ia tidur, tapi ruh perlawanan itu masih hidup — dalam setiap cerita yang kini mulai ditulis kembali.


Penulis: Rozal Nawafil, S.Tr.IP
ASN Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya; Wakil Ketua DPP Aceh Culture and Education (Action). Ia percaya bahwa identitas masa kini lahir dari akar warisan budaya yang dijaga, langkah yang dipandu oleh sejarah, dan kesadaran akan jati diri yang membentuk arah pengabdian.