Nasional.Top

lisensi

Advertisement

Advertisement
Redaksi
Kamis, 01 Mei 2025, 00:00 WIB
Last Updated 2025-05-01T09:31:28Z
NewsOpini

Ini 5 Ormas Islam Terbesar di Indonesia, Apa Saja?

Advertisement

Nasional.Top — Indonesia dikenal sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Tak heran, berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam tumbuh dan berkembang pesat, memainkan peran penting dalam bidang keagamaan, pendidikan, sosial, hingga politik. Di antara ratusan ormas yang ada, lima di antaranya menonjol karena sejarah panjang, jaringan luas, dan kontribusi yang signifikan. Berikut lima ormas Islam terbesar di Indonesia: 


1. Nahdlatul Ulama (NU)

Didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya, Jawa Timur oleh para ulama tradisionalis seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syansuri. Para pendiri Nahdlatul Ulama (NU) memiliki latar belakang yang sangat kuat dalam tradisi pesantren dan keilmuan Islam yang bersanad. Mereka berguru kepada ulama-ulama besar dari berbagai wilayah, seperti KH Hasyim Asy'ari yang berguru pada ulama-ulama besar di Mekah dan Madinah, termasuk dari kalangan ulama Al-Azhar Mesir. Beliau juga belajar langsung kepada ulama-ulama di Indonesia yang berpegang pada tradisi Ahlussunnah wal Jamaah.


NU yang dikenal memiliki tradisi keislaman yang moderat menjadi ormas Islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia, dengan jumlah anggota mencapai puluhan juta. NU berpegang pada paham Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah, dengan landasan akidah merujuk kepada Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, sedangkan dalam persoalan fikih, NU cenderung merujuk kepada Imam Syafi'i, dan dalam bidang tasawuf, NU merujuk kepada Imam al-Ghazali. NU tetap mengakui dan bersikap tasamuh kepada para mujtahid lainnya, seperti dalam bidang akidah dikenal seorang mujtahid bernama Abu Mansur al-Maturidi, kemudian dalam bidang fikih terdapat tiga mujtahid besar selain Imam Syafi'i, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Hambali, serta dalam bidang tasawuf mengadaptasi pemikiran Junaid al-Baghdadi. Hal ini berbeda dengan PERTI yang hanya bermazhab Syafi'i, meski mayoritas warga NU bermazhab Syafi'i. 


Saat ini, NU mengelola lebih dari 20.000 pondok pesantren, ribuan madrasah, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, hingga lembaga keuangan syariah. Kekuatan NU bukan hanya di akar rumput (grassroots), tetapi juga dalam pengaruh sosial-politik nasional.


2. Muhammadiyah

Persyarikatan Muhammadiyah lahir di Kauman, Yogyakarta pada 18 November 1912, didirikan oleh KH Ahmad Dahlan. Muhammadiyah mendorong gerakan tajdid (reformasi) dalam beragama, kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah dengan pendekatan rasional dan ilmiah.


Walaupun dikenal lebih modernis, Muhammadiyah tetap menjunjung sanad keilmuan yang sahih melalui tafsir, hadis, dan fiqh yang berlandaskan metode ijtihad yang bertanggung jawab. Dalam akidah, Muhammadiyah juga memegang prinsip tauhid yang murni tanpa unsur takhayul, bid'ah, dan khurafat.


Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dalam perjalanan ilmiahnya berguru pada beberapa ulama besar seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama besar yang sangat berpengaruh dalam pendidikan Islam. Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi juga merupakan guru dari KH Hasyim Asy'ari (pendiri NU) dan Syekh Sulaiman Arrasuli (pendiri PERTI).


Persyarikan ini sangat berperan dalam amal usaha, terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Saat ini Muhammadiyah memiliki lebih dari 5.000 sekolah, 176 perguruan tinggi, ratusan rumah sakit, panti asuhan, dan lembaga sosial lainnya.


3. Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)

Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) lahir pada 5 Mei 1928 di Candung, Sumatra Barat. Pendirinya adalah ulama-ulama kaum tua seperti Syekh Sulaiman Arrasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Abbas Al-Qadhi dan Syekh Abdul Wahid Ashshalihi. Syekh Sulaiman Arrasuli yang merupakan sosok sentral dalam pendirian PERTI dianggap sebagai tokoh yang menyebarluaskan gagasan keterpaduan adat Minangkabau dan syariat lewat ungkapan Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.


PERTI dalam amaliah berpedoman kepada fikih Syafii, akidah Asy'ari, dan tasawuf Sunni dengan mengikuti tarekat-tarekat muktabar. Sebagian besar anggota dan simpatisan PERTI mengikuti tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah dan selebihnya adalah pengikut tarekat lain seperti Syattariyah, Sammaniyah, Haddadiyah, dll.


PERTI membangun jaringan madrasah dan pesantren yang mempertahankan tradisi pembelajaran kitab kuning dan keilmuan turats Islam klasik. Selain pendidikan, PERTI juga bergerak di bidang dakwah dan sosial. Seiring perkembangan zaman, PERTI sempat mengalami dinamika politik, bahkan pernah menjadi partai politik sendiri pada masa awal kemerdekaan. Kini, PERTI kembali menegaskan dirinya sebagai organisasi masyarakat Islam yang fokus pada pengembangan pendidikan Islam ala Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy-Syafi'iyah.


4. Al Washliyah

Al Jam'iyatul Washliyah berdiri pada 30 November 1930 di Medan, didirikan oleh para pelajar madrasah dan ulama muda di Sumatra Timur yang sebagian besar merupakan murid dari Syekh Hasan Maksum, mufti Kesultanan Deli. Syekh Hasan Maksum termasuk murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi serupa dengan KH Hasyim Asy'ari (pendiri NU), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Syekh Sulaiman Arrasuli (pendiri PERTI). 


Al Washliyah mengembangkan jaringan madrasah, sekolah umum, dan perguruan tinggi, serta berperan aktif dalam membina kehidupan keagamaan di Sumatra, terutama di Sumatera Utara dan Aceh. Organisasi ini berhaluan tradisionalis, mengedepankan pendidikan berbasis nilai Islam, serta aktif dalam forum-forum keumatan nasional.


5. Mathla'ul Anwar

Mathla'ul Anwar didirikan pada 10 Juli 1916 di Menes, Pandeglang, Banten, oleh para ulama Banten seperti KH Mas Abdurrahman. KH Mas Abdurrahman adalah teman sezaman dengan KH Hasyim Asy'ari (pendiri NU), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (pendiri PERTI) dan Syekh Hasan Maksum (mahaguru para pendiri Al-Washliyah).


Mathla'ul Anwar sebenarnya lebih tua dari NU dan PERTI, tetapi dalam skala nasional baru berkembang luas setelah masa kemerdekaan. Pada tahun 1928, Mathla'ul Anwar (MA) menjadi bagian dari NU, dua tahun setelah pembentukan NU. KH Mas Abdurrahman sendiri merupakan salah satu pendiri NU. Bergabungnya MA ke NU menjadikan sebagian pengurus NU di Banten diisi oleh para ulama MA. Pada 1952, Muktamar VIII Mathla'ul Anwar di Ciampea meresmikan Mathla'ul Anwar sebagai organisasi massa terpisah dari NU.


Berawal dari kebutuhan memperbaiki pendidikan Islam di daerah Banten, Mathla'ul Anwar kini berkembang menjadi ormas nasional. Dengan misi "mencerdaskan umat berdasarkan ajaran Islam," Mathla'ul Anwar bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial. Mereka mengelola ratusan sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, dan aktif dalam mengembangkan dakwah Islam yang moderat, toleran, dan cinta tanah air.[]